Karya Aiegustin Diansari Pranoto - “Saatnya untuk
bangun, sekarang jam 05.00 tepat, waktunya untuk bangun !” Suara yang begitu
nyaring terdengar dari jam weker yang terletak disebelah telingaku. Terbangun
aku dari tidur yang nyenyak, hujan yang turun semalam masih meninggalkan hawa
dingin yang membuatku enggan untuk melepas selimut. Satu hal yang menguatkanku
untuk bangun hari ini. “Dia” yaah, cowok berpostur tinggi, hidung mancung, alis
tebal, dengan setelan jaket biru yang biasa ia kenakan, yang selalu menjeputku
di depan gang setiap pagi. Siapa lagi kalau bukan Kian Al-Farabi, pangeran
tampan setampan romeo dan aku julietnya. Hahaha jelas saja aku berkata seperti
itu, sebab cowo cuek yang gak romantic itu adalah pacarku. Tak ada satupun yang
boleh mengejek pacar Iris Tantia, karena bagaimanapun aku sayang padanya.
Setelah semuanya siap, seperti biasanya pukul 06.30
pagi. Aku sudah harus stand by di depan gang. Karena dia gak suka yang namanya
nunggu, jadi aku harus buru-buru tiap paginya. Setelah 10 menit menunggu.
“Eh ayok !!!” ujar Kian menghampiriku.
“Aaah…iya sabar.” Jawabku sambil tersenyum lebar.
Seperti biasanya aku langsung naik dan memegang
erat jaket birunya itu. Aku dan dia selalu saja ngobrol disepanjang jalan, ntah
apa-apa saja yang kami obrolkan akupun tidak tau, yang pasti bahan pembicaraan
kami tidak ada habis-habisnya. Tapi hari ini aku heran, dia hanya diam saja dan
berbicara seperlunya.
“Kamu kenapa sih?” tanyaku penasaran.
“Aku, gak kenapa-kenapa kok.” Jawabnya singkat.
“Ih, kamu kok diem aja daritadi?” ujarku
“Ya engga, aku cuman capek aja,” dijawabnya lagi
dengan ekspresi datar.
Seperti biasa dia memarkirkan motornya paling
depan. Setelah itu, kami jalan berdua menuju kelas masing-masing. Yaaah, aku
dan dia beda kelas. Dia kelas XG sedangkan aku XE. Setelah 8 jam berada di
sekolah, bell pun berdering kencang “kriiing..kriiing..kriing..” semua anak
berhamburan keluar. Kurasakan hp di saku rokku bergetar, sudah kutebak pasti
itu Kian. Sebuah pesan ingkat yang sudah tidak asing lagi ku terima.
“Kamu dimana? Ayok cepetan. Aku udah di parkiran.”
Dengan segera aku berlari dan meninggalkan
teman-temanku. Sesampainya di parkiran aku langsung menuju kearahnya dan
mengantarku pulang kerumah. Disepanjang jalan satu katapun tidak keluar baik
dari mulutnya maupun dari mulutku. Aku bingung ada apa dengan dia.
Setiap magrib tidak lupa aku mengingatkannya untuk
solat. Tapi aku heran, kenapa dia tidak membalasnya. Ketika aku sedang asik
mendengar musik, tiba-tiba saja hpku bergetar. “Dreet..Dreet..” dengan segera
aku mengambil hpku, karena ku tau itu pasti dia.
“Ris, ada kabar gak enak, kamu gak boleh sedih
cukup aku yang sedih,” isi pesan singkatnya.
“Kamu kenapa? Ada apasih?” tanyaku penasaran.
“Aku mau pindah jauh ke Kalimantan.” Ujar Kian.
“Kamu bohong ya? Ah kamu becandanya basi.” Dengan
segera aku membalasnya.
“Aku gak bohong Ris, ayah aku kemaren bilang.
Kenaikan kelas. Satu bulan lagi aku pindah. Aku gak tega bilang ini ke kamu.
Tapi mau gimana lagi, aku juga gak pengen gini.” Balasnya.
Tidak terasa air mataku jatuh begitu saja,
bersamaan dengan lepasnya handphone dari genggamanku. “ Ini mimpi apa kenyataan
sih? Ih gilak semuanya gilak !!!” air mataku terus berjatuhan tanpa diperintah.
Langsung ku ambil handphoneku di lantai, tanpa berfikir panjang aku langsung
menelphonnya.
“Kamu bohongan gak sih? Jawab serius!” kata-kata
yang keluar pertama kali dari mulutku.
“Iris, aku minta maap sama kamu, aku gak maksut
buat kamu sedih.” Ujar Kian.
Bibirku tak sanggup lagi untuk berbicara sepatah
katapun. Langsung ku non aktifkan hpku dan melemparnya jauh dariku. Aku
benar-benar tidak pernah menduga bahwa dia akan pindah. Kabar ini sungguh
membuatku seperti kehilangan tulang-tulang rangka yang menopang tubuhku. Badan
ku terasa sangat lemah, dan aku hanya bisa terduduk lemas sambil menggigit
guling yang ada di genggamanku.
Pagi ini suara alarm kembali membangunkanku. Mataku
terasa berat untuk dibuka, mungkin karena menangis semalam, sampai ku merasa
kelopak mataku berat sekali seperti ditimpah batu gilingan cabe seberat 1 kg.
ketika ku berkaca di cermin, langsung ku berlari ke kamar mandi dan mencuci
mataku. Aku tak ingin dia tau kalau semalaman aku menangis.
Seperti biasanya kami berangkat bersama, tak ada
satu katapun yang keluar saat itu. Karena aku berusaha menahan air mata yang
selalu meronta ingin keluar. Aku pun selalu menundukkan kepalaku. Aku tak ingin
dia melihat mataku yang bengkak ini. Ketika hampir sampai kelas aku mengajaknya
berbicara.
“Kok pindah?” ujarku.
“Ayah pindah tugas.” Jawabnya singkat.
“Trus rumah kamu gimana?” ujarku penasaran.
“Di jual kata ayah,” jawabnya ringan.
Aku menggerutu dalam hatiku “ih,cowok ini enteng
banget sih jawabnya, gak tau apa semaleman gua nyaris mati tenggelem di air
mata!” Ketika sampai depan kelasnya, aku langsung lari dan menuju kelasku.
Semua air mata jatuh tak tertahan lagi. Teman-temanku langsung menghampiriku,
semua bertanya ada apa denganku.
Berat, Cuma itu yang sekarang ada di otakku. Dalam
benakku, aku kesal sekali padanya. Hari demi hari berjalan tanpa terasa. Aku
tak bisa bersikap seperti biasanya. Mata merah dan muka lusuh yang selalu
terpasang di wajahku setiap harinya. Setiap malam, kebiasaan setiap harinya,
selalu smsan dengan dia. Tidak lain sekarang yang dibahas yaaa tentang dia,
kepindahannya, dan nasibku setelah itu. Satu hal yang menguatkanku ketika dia
mengirimkan pesan singkat.
“Kamu tenang aja, dua taun lagi aku tunggu kamu di
Jogja ya ris, kita kuliah disana. Kamu mau kan?”
Aku hanya bisa mengiyakan dan berharap dua tahun
lagi itu jadi kenyataan. Tapi dua taun itu gak sebentar. Air mataku kembali
menetes hingga ku terlelap dalam tidur dengan diiringi lagu Secondhand Serenade
yang sama sekali tak kusukai awalnya. Tapi mungkin Stay Close Don’t Go lagu itu
cocok dengan nasibku sekarang ini.
Aku membulatkan tanggalan di kalender untuk satu
harinya. “Sebentar lagi” desahku sambil menghela nafas. Tentunya sisa waktu ini
akan ku manfaatkan baik-baik. Aku dan Kian selalu kemana-mana berdua. Rasanya
tak ingin bergeser satu detikpun dari sampingnya bila mengingat nanti mungkin
tak seindah hari ini.
Di hamparan rerumputan dekat rumahku. Tempat biasa
kami bersama. Ku rasakan kesejukan angin yang berhembus.
“Kalo kamu pindah nanti, kalo punya cewek baru
jangan lupa sama aku ya Ki,” ujarku sambil memegang erat tangannya dan
merebahkan kepalaku di pundaknya.
“Kalo aku pindah nanti, kamu gak boleh sama cowok
laen ya, aku sayang kamu Ris. Janji ya !” jawabnya sambil menatap wajahku.
Percaya gak percaya mungkin dia masi bisa bilang
sayang sekarang, tapi ntah untuk nanti. Buat LDR (Long Distance Relationship)
sudah pasti dan kudu wajib ada yang bakal ngerasain sakit hati.
Hari ini, 16 Juni 2011, baju abu-abu yang melekat
ditubuhku. Melengkapi kepucatan wajah dan beratnya mata yang menahan beban air
ini. Aku berdiri di tengah keramaian. Yaaah.. hari ini aku berada di Bandara
Radin Intan, sungguh akan menjadi tempat yang paling ku benci.
“Iris….,” ujar Kian.
Aku hanya menoleh dan tetesan air matapun tak bisa
kutahan. Kudekap erat Kian dan aku sama sekali tidak ingin melepasnya.
“Aku sayang sama kamu. Kamu gak boleh pergi ! Bodok
amat !” tak tahan lagi aku menahannya.
“Happy Anniversary 4 mounth sayang” ujarnya.
Aku baru sadar ternyata sudah 4 bulan kami bersama.
“Aku tunggu kamu di Jogja ya,” ujarnya kembali
sambil perlahan melepaskan dekapanku.
“Aku mau kasih kamu ini, di pake ya Kian.”
Bungkusan kado berwarna merah berisi sweeter merah
yang sudah lama kubelikan. Awalnya aku berniat akan memberikannya saat dia
ulang tahun nanti. Langkah- langkah kecil itu membawanya pergi dan hilang dari
penglihatanku. Sejenak kupejamkan mata dan suara pesawat itu membawanya pergi
jauh dariku. Kisahku seperti sinetron yang tak pernah kuduga awalanya, entah
apa yang harus kulakukan sekarang. Mungkin menepati janji-janji itu sampai
mengunggu dua tahun lagi kalaupun tuhan mempertemukan kami. Selamat datang
kesendirian. Selamat datang kesedihan.
“ I can see you if you are not with me I can say to
my self if you are oke”
Read more:
http://cerpen.gen22.net/2011/12/jangan-ulang-hari-itu.html#ixzz2hUdpnbEs